Samarinda salah satu ibukota di Kalimantan, tepatnya di Kalimantan Timur yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Kota Samarinda adalah kota terbesar yang ada di Pulau Kalimantan
Samarinda juga terkenal karena memiliki masjid terbesar ketiga di Asia
Tenggara. Masjid Baitul Muttaqin, yang lebih dikenal dengan sebutan
Masjid Islamic Center Samarinda.
Masjid ini memiliki luas bangunan utama 43.500 meter persegi. Untuk
luas bangunan penunjang adalah 7.115 meter persegi dan luas lantai
basement 10.235 meter persegi.
Sementara lantai dasar masjid seluas
10.270 meter persegi dan lantai utama seluas 8.185 meter persegi.
Sedangkan luas lantai mezanin (balkon) adalah 5.290 meter persegi.
Lokasi ini sebelumnya merupakan lahan bekas areal penggergajian kayu
milik PT Inhutani I yang kemudian dihibahkan kepada Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.
Bangunan masjid ini memiliki sebanyak 7 menara dimana menara utama
setinggi 99 meter yang bermakna asmaul husna atau nama-nama Allah yang
jumlahnya 99. Menara utama itu terdiri atas bangunan 15 lantai
masing-masing lantai setinggi rata-rata 6 meter. Sementara itu, anak
tangga dari lantai dasar menuju lantai utama masjid jumlahnya sebanyak
33 anak tangga. Jumlah ini sengaja disamakan dengan sepertiga jumlah
biji tasbih.
Selain menara utama, bangunan ini juga memiliki 6 menara di bagian
sisi masjid. Masing-masing 4 di setiap sudut masjid setinggi 70 meter
dan 2 menara di bagian pintu gerbang setinggi 57 meter. Enam menara ini
juga bermakna sebagai 6 rukun.
Sejarah
Samarinda yang dikenal sebagai kota seperti saat ini dulunya adalah salah satu wilayah Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura.
Di wilayah tersebut belum ada sebuah desa pun berdiri, apalagi kota.
Sampai pertengahan abad ke-17, wilayah Samarinda merupakan lahan
persawahan dan perladangan beberapa penduduk. Lahan persawahan dan
perladangan itu umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus
dan sungai Karang Asam.
Pada tahun 1668, rombongan orang-orang Bugis Wajo yang dipimpin La Mohang Daeng Mangkona (bergelar Pua Ado) hijrah dari tanah Kesultanan Gowa ke Kesultanan Kutai. Mereka hijrah ke luar pulau hingga ke Kesultanan Kutai karena mereka tidak mau tunduk dan patuh terhadap Perjanjian Bongaya setelah Kesultanan Gowa kalah akibat diserang oleh pasukan Belanda. Kedatangan orang-orang Bugis Wajo dari Kerajaan Gowa itu diterima dengan baik oleh Sultan Kutai.[4]
Atas kesepakatan dan perjanjian, oleh Raja Kutai rombongan tersebut
diberikan lokasi sekitar kampung melantai, suatu daerah dataran rendah
yang baik untuk usaha pertanian, perikanan dan perdagangan. Sesuai
dengan perjanjian bahwa orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala
kepentingan Raja Kutai, terutama di dalam menghadapi musuh.[4]
Semua rombongan tersebut memilih daerah sekitar muara Karang Mumus
(daerah Selili seberang) tetapi daerah ini menimbulkan kesulitan di
dalam pelayaran karena daerah yang berarus putar (berulak) dengan banyak
kotoran sungai. Selain itu dengan latar belakang gunung-gunung (Gunung
Selili).[4]
Sekitar tahun 1668, Sultan yang dipertuan Kerajaan Kutai memerintahkan Pua Ado bersama pengikutnya yang asal tanah Sulawesi membuka perkampungan di Tanah Rendah. Pembukaan perkampungan ini dimaksud Sultan Kutai, sebagai daerah pertahanan dari serangan bajak laut asal Filipina yang sering melakukan perampokan di berbagai daerah pantai wilayah kerajaan Kutai Kartanegara.
Selain itu, Sultan yang dikenal bijaksana ini memang bermaksud
memberikan tempat bagi masyarakat Bugis yang mencari suaka ke Kutai
akibat peperangan di daerah asal mereka. Perkampungan tersebut oleh
Sultan Kutai diberi nama Sama Rendah. Nama ini tentunya bukan asal
sebut. Sama Rendah dimaksudkan agar semua penduduk, baik asli maupun
pendatang, berderajat sama. Tidak ada perbedaan antara orang Bugis, Kutai, Banjar dan suku lainnya.
Dengan rumah rakit yang berada di atas air, harus sama tinggi antara
rumah satu dengan yang lainnya, melambangkan tidak ada perbedaan derajat
apakah bangsawan atau tidak, semua "sama" derajatnya dengan lokasi yang
berada di sekitar muara sungai yang berulak dan di kiri kanan sungai
daratan atau "rendah". Diperkirakan dari istilah inilah lokasi pemukiman
baru tersebut dinamakan Samarenda atau lama-kelamaan ejaan Samarinda.
Istilah atau nama itu memang sesuai dengan keadaan lahan atau lokasi
yang terdiri atas dataran rendah dan daerah persawahan yang subur.[4]
Wisata Budaya
Untuk menikmati wisata budaya, wisatawan bisa mengunjungi Desa Budaya Pampang yang berjarak sekitar 20 km dari pusat kota. Pampang akan menampilkan atraksi budayanya dari suku Dayak Kenyah pada hari minggu.[15]
Produk budaya dari Samarinda berupa ukir-ukiran dan pernak-pernik lainnya yang bisa didapatkan di Citra Niaga. Samarinda juga mempunyai produk tekstil yang bernama Sarung Samarinda dan Batik Ampiek, batik yang bermotif ukiran Dayak.
Makanan Khas
a. Amplang
Makanan tradisional yang terbuat dari ikan tenggiri yang di campuri dengan tepung kanji dan bahan-bahan lainnya, kemudian digoreng.
b. Gula Galit
Makanan yang terbuat dari gula aren dan gula putih semacam karamel dan dibentuk serupa dengan kayu.
c. Lempok Durian
Lempok adalah Makanan dodol yang dikenal di daerah lain, kata lempok selalu diasumsikan sebagai dodol durian, karena lempok hampir tidak dikenal dibuat dengan bahan utama lain selain durian.
d. Keminting
Makanan khas Samarinda ini adalah sejenis kue kering yang bentukya unik, seperti buah kemiri makanya disebut dengan keminting. Dibuat dari bahan dasar tepung terigu dengan tekstur yang nampak keras diluar namun renyah ketika digigit.
Ciri Khas
Sarung Samarinda
Kerajinan tenun Sarung Samarinda pada awalnya dibawa para perantau Bugis
dari Sulawesi yang tinggal di pesisir Sungai Mahakam, tepatnya di
Kampung Pamanah, Gang Pertenunan, Samarinda Seberang. Berada jauh dari
tanah leluhur tidak membuat perempuan Bugis melupakan tradisinya. Sambil
menunggu suami-suami mereka pulang dari bekerja serta mengasuh
anak-anak, mereka memanfaatkan waktu dengan menenun sarung. Sarung
bermotif kotak-kotak yang mereka buat ternyata menarik perhatian
orang-orang untuk membelinya.
Para pengrajin mengenal dua teknik
dalam menenun Sarung Samarinda, yaitu dengan menggunakan Alat Tenun
Bukan Mesin (ATBM) dan dengan cara tradisional yang disebut dengan
walida. Pengrajin pendatang ini kabarnya sangat terampil dalam bertenun
kain. Pembuatan satu sarung dari bahan baku memerlukan waktu sekitar
satu pekan. Sedangkan proses menenunnya memerlukan waktu sekitar tiga
hari.
Ciri khas Sarung Samarinda adalah bahan bakunya yang
menggunakan sutera yang khusus didatangkan dari Cina. Sebelum ditenun,
bahan baku sutera masih harus menjalani beberapa proses agar kuat saat
dipintal. Proses pertama adalah merendam bahan baku dalam air selama
tiga hari. Setelah itu dimasak dalam campuran air dan pewarna sampai
mendidih selama sekitar dua jam. Lalu bahan baku dicuci hingga bersih
dan langsung dikanji. Setelah dikanji, diperas, dan dijemur hingga
kering, barulah bahan baku bisa dipintal menjadi benang tenun sutera.
Untuk mendapatkan hasil yang baik, pemintalan harus dilakukan sehalus
mungkin.
Sehelai sarung yang dihasilkan pengrajin biasanya
memiliki lebar 80 centimeter dan panjang 2 meter. Dengan ukuran sarung
sebesar itu pasti ada jahitan sambungan di bagian tengahnya yang dibuat
dengan menggunakan tangan. Sarung asli tidak pernah disambung dengan
menggunakan mesin jahit. Inilah salah satu cara untuk membedakan kain
yang asli dari yang palsu atau buatan mesin pabrik.
Perbedaan
lainnya adalah kain yang asli atau yang dibuat dengan ATBM biasanya
terasa agak kasar tetapi sejuk saat dipakai. Kain palsu terasa halus
namun saat dipakai terasa panas. Sementara sarung asli yang dibuat
dengan teknik walida juga halus sekaligus terasa sejuk saat dipakai.
Kalau
ingin lebih memastikan lagi mana sarung yang asli dan yang palsu,
tariklah satu benang sarung dan bakar. Jika benang yang dibakar berubah
menjadi seperti karet, berarti itu adalah sarung asli yang menggunakan
benang sutera. Tapi kalau benang yang dibakar berubah jadi abu, sarung
tersebut pasti dibuat dari benang kapas murahan. Pembeli memang harus
berhati-hati saat membeli Sarung Samarinda karena sangat banyak beredar
sarung palsu.
Sekarang sudah ada belasan kampung penenun yang
berada di gang-gang yang berdekatan. Nama-nama kampungnya beragam,
sesuai dengan kampung asal mereka di Sulawesi. Ada Kampung Wajo,
Senglang, Sidrap. Sementara itu sejumlah galeri, toko, dan koperasi
bermunculan menjual hasil kerajinan tenun Sarung Samarinda di sepanjang
jalan raya Samarinda.
Jika menyusuri gang-gang pertenunan, mesin
pintal dan tenun akan terlihat di halaman depan rumah penduduk.
Sementara di samping dan emperan rumah, sarung yang masih basah oleh
kanji sedang dijemur. Penggunaan kanji berfungsi agar sarung tampak baru
dan awet.
Jika ingin memiliki Sarung Samarinda yang asli,
sebaiknya membeli langsung atau memesannya di beberapa tempat suvenir di
Samarinda. Harga Sarung Samarinda berkisar antar Rp 150.000 hingga Rp.
250.000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar